Kamis, 02 April 2009

Rantauan is my village





Kalau mendengar sebutan nama rantauan apakah yang ada di benak orang?. Mungkin orang akan menebak itu adalah suatu tempat, atau apa saja. Benar bagi yang menyatakan itu adalah sebuah tempat. Tetapi apakah rantauan ?, dimanakah rantauan?, karena bahkan ekspos mengenai rantauan tidak ada, dan mungkin tidak penting karena apalah arti sebuah rantauan. Namun, tidak salahnya mengenai rantauan mulai diangkat profilnya sedari sekarang.

Sepengetahuan saya, di Banjarmasin juga ada nama tempat rantauan, tapi letak persisnya kurang mengetahui. Rantauan yang dimaksudkan disini adalah sebuah desa yang terletak 140 km dari Banjarmasin. Rantauan dulunya adalah sebuah desa yang dipimpin oleh seorang Pambakal,istilah lokal kepala desa. Mengapa saya katakan dulu karena status administratif rantauan sekarang telah berubah menjadi nama sebuah jalan, semenjak penggabungan desa rantuan masuk ke dalam desa Gambah Luar.

Rantauan terletak di Kecamatan Kandangan, 4 kilometer dari pusat kota kandangan itu sendiri. Rantauan sungguh unik karena ia berbatasan dengan desa Bakarung Selatan yang notabene adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Angkinang, kecamatan tetangga. Jadi rantauan merupakan daerah perbatasan dua buah kecamatan. Rantauan berada di sumbu jalan propinsi arah ke Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS).

Akses ke beberapa tempat penting dapat dengan udah dicapai karena letaknya yang strategis. Diantaranya kalau kita mau ke Nagara Cuma 30-an kilometer jaraknya. Begitu pula kalau mau pergi ke Rantau, Barabai, ataupaun Loksado jarak tempuhnya kurang lebih seperti itu. Rantau dan Barabai merupakan kabupaten tetangga, sedangkan Loksado adalah obyek wisata terkenal HSS. Pusat kerajinan HSS ada di Nagara, ingat! bukan Negara.

Nama tentu memiliki arti, tak terkecuali asal nama rantauan itu sendiri. Menurut cerita almarhum kakek rantauan dulunya bernama Durian Bagantang, mungkin karena banyaknya pohon duren di desa ini sehingga mendapatkan julukan tersebut. Sekarang pohon duren yang tersisa cuma sedikit, itupun tinggal menunggu tumbang, diameter batangnya dua kali pelukan orang dewasa, tingginya bisa setinggi pohon kelapa.

Perilaku masyarakat rantauan adalah senang merantau keberbagai daerah, sehingga sangat sedikit pemuda yang ada di desa ini, yang tertinggal hanya orang tua dan anak. Mungkin perilaku itulah yang menisbatkan nama rantauan pada akhirnya. Hanya hari-hari tertentu saja desa ini menjadi ramai, seperti saat Lebaran ketupat dan qurban. Tumpah ruah warga yang ada diperantauan mudik ke kampung asalnya untuk menjenguk keluarga atau berziarah ke makam orang tua. Saat perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW juga membuat suasana kampung ini meriah. Kematian salah satu warga di rantau pun akan membikin warga berduyun-duyun.

Pembangunan di desa ini terkesan sedikit lambat, pertama karena wilayahnya yang tidaklah luas. Bidang pertanian hanya mengandalkan sawah tadah hujan, sehingga kegiatan berhuma cuma setahun sekali. Untuk perkebunan tidak bisa dikembangkan karena tanahnya tidak terlalu subur, sehingga tanaman yang dapat dikebunkan terbatas. Kebanyakan lahan ditumbuhi oleh pohon kelapa, selama ini pemanfaatan kelapa sebagai potensi hanya sedikit. Misalnya buahnya dijual pengepul ke luar daerah, atau terkadang pohon kelapa yang sudah tua ditebang untuk dibikin kayu dan dikirimkan ke pulau jawa. Tahukah anda bahwa sabut dan batok kelapa digunakan sebagai bahan pembakaran untuk memasak dodol kandangan yang terkenal itu. Untuk membuat dodol memerlukan waktu yang lama, tentu diperlukan bahan pembakaran yang efisien, meski terlihat konvensional.

Kedua, tempat ini kekurangan SDM yang memadai karena seperti yang disebutkan diatas tadi mereka kebanyakan merantau dan sebagian diantara mereka yang berpendidikan tinggi memilih berkarier di luar daerah, mungkin karena lebih menjanjikan.

Itulah sekelumit tentang rantauan, tapi pada dasarnya perubahan akan terus berjalan walau lambat, karena “tidak ada” yang tidak akan berubah.iwn


Sabtu, 14 Februari 2009

Cita-cita setinggi bintang


Kelana Budi
A.R.
Wahai kelana budi Engkau datang dari pelosok negeri Hanya untuk mengaih kehidupan suci Secercah asamu menanti mekar seri Wahai kelana budi Kau lalui jalan dengan menampi sunyi Tapak-tapak duri menggores langkah itu Tak hirau walau meratap rayui Wahai kelana budi Intiplah tiang pengharapanmu Sukakan dalam derai rengekmu Kikis segala kesumat pendera Wahai kelana budi Jemput daku setelah jaga mimpi pateri Aku menanti di hiasan tangga azali

Banjarbaru, 6 Juli 2003

Arti Dibalik Puisi:
Kelana Budi maknanya adalah seseorang yang berkelana untuk mencapai ketinggian budi, tak lain dan tak bukan dalam konteks puisi adalah seorang mahasiswa. Seseorang yang mungkin jauh-jauh datang dari pelosok daerah ke suatu tempat menuntut ilmu untuk menggapai cita-cita yang senantiasa disematkan di hatinya. Harapan akan terwujud cita-cita itulah yang menguatkan tekadnya. Dalam proses pencapaian itu selalu ada tantangan dan rintangan, namun hal itu disikapinya dengan kesabaran dan ketabahan. Saat semangat turun, maka ia melihat kembali pada niatan awalnya melangkah. Sehingga itu mampu mengangkat semangat lagi, terhapus dari deraian air mata.
Dan pada akhirnya jika semua sudah diusahakan dengan optimal, maka tinggallah ia berdo’a dan berpasrah kepada Yang Maha Kuasa untuk menjemput takdir jalan kehidupannya.(azl)

KiSaH CiNtA yANg TeRpEnDaM


Bianglala Redup
A. R.

Bertiti hari di bianglala redup Seiring menampak senyuman dewi senja Mengalir amarah, rindu, dan asa Berasal kucuran luka menganga Pedih terbarut berbalur bisa nista Aduhai keluh dalam tawa komedi Menepis untaian rindu dendam Berkarat di sahara gersang nan hampa Karena antara dua hati, satu kilas mata Membumbung lalu terampas di cadas Dalam tidurnya bantalan duri Membekap sang dara sunyi jelita Biru dan bisu… Entah kemilau jadi Laksana bianglala menjelang awan pergantungan Sehabis balada putih Namun kini ia redup Dan entah untuk kian meredup Bilakan dicampak buat terenggut

Banjarbaru, 20 Pebruari 2003

Arti Dibalik Puisi:
Puisi berjudul “Bianglala Redup” ini adalah puisi pertama yang aku publikasi ke sebuah harian local Metro Banjar. Puisi yang bertema romansa tak pelak seolah menjadi ajang curahan hati yang sedang kasmaran. Bisa dibayangkan, awal pertama menjalani kuliah sebagai mahasiswa memerlukan adaptasi untuk menjadi serba mandiri. Saat seperti itu terdapat stressing yang harus bisa diselesaikan sendiri. Lingkungan baru memberikan pengalaman yang baru, tapi lingkungan asal tak mudah untuk dilupakan karena disana ada sesuatu yang berharga ditinggalkan yakni kehangatan keluarga, sahabat.

Memori cinta saat SMU juga tak pelak membuatku kusut, jarak yang memisahkan dengan pujaan hatiku Maida Ariani memberikan suatu warna hati. Kami sama-sama meninggalkan kota kelahiran di Kandangan untuk menuntut ilmu ke kota yang berbeda. Aku kuliah di Fakultas Kedokteran Banjarbaru, sedangkan dia studi di Sekolah Perawat Kesehatan di Barabai. Kandangan-Barabai berjarak 30-an kilometer, sedangkan Kandangan-Banjarbaru berjarak 130-an kilometer.

Hubungan cinta kami terlalu rumit untuk dijelaskan, aku dan dirinya senantiasa ada misunderstanding. Saat aku menjejakkan kaki di Banjarbaru masalah itu belum terselesaikan, dan menjadi berlarut-larut. Pertalian cinta menjadi renggang karena kurangnya komunikasi, tahun 2000- an yang namanya Warnet di Banjarbaru tak sefamiliar sekarang, apalagi di kota perifer seperti Barabai. Sangat jarang bertemu menggelorakan sejuta kerinduan (to be continued…). (azl)

Soto Banjar


Soto Banjar Favorit
Setiap daerah memiliki kekhasan tersendiri, baik itu dari objek wisata, budaya local maupun kuliner.Menyinggung mengenai kuliner tentu ada beragam masakan yang tersaji. Kalau di daerah lain ada bermacam-macam soto dengan cita rasa khas seperti Soto Lamongan, Soto Madura, Soto Surabaya, Coto Makasar dan yang lainnya. Maka di Banjarmasin ada juga yang namanya Soto Banjar, bagi urang banjar tentu masakan itu mungkin tak asing lagi. Bahkan jadi primadona wisata penikmat kuliner baik bagi orang daerah maupun luar daerah. Rugi rasanya kalau tidak pernah mencicipi masakan yang satu ini.

Tak sembarang orang bisa membikin soto banjar yang maknyus (kata Pak Bondan), sehingga tak sembarang warung yang menjadi favorit masyarakat di Banjarmasin. Baru-baru ini diadakan polling di Banjarmasin untuk menentukan warung yang menyajikan Soto Banjar pilihan penikmat kuliner. Acara ini merupakan prakarsa dari pemkot, bank local dan harian local. Dan masyarakat lah yang akan memilih.
Lepas terkait acara tersebut, saya punya criteria sendiri mengenai warung makan soto banjar favorit.

Ada criteria 3M yakni murah, murah, dan murah (enggak juga). Tiga criteria yang dimaksud adalah yang penting masakan itu memang harus benar enak,murah, dan higienis. Yang dimaksud dengan criteria enak tentunya tergantung selera lidah masing-masing, contohnya ada orang suka masakan yang asin, menurutnya itu enak. Dikatakan murah juga tergantung isi kantong, sedangkan higienes meliputi cara penyajian, tempat, dan kebersihan si penyaji.
Bagaimana menurut pendapat anda mengenai criteria masakan favorit itu?.(azl)

Jumat, 13 Februari 2009

ObSesi sEoRaNg aMaTiR


Jam dinding telah menunjukkan pukul 12 malam, namun kujuga belum tertidur. padahal sekujur badanku terasa sangat pegal. Letih pasca latihan rutin bulutangkis satu hari yang lalu (rabu). besok (jumat) aku harus menjalani latihan lagi. Hari sabtu juga telah menanti dengan tanding dikandang lawan.
Yah, aku mempunyai suatu obsesi besar untuk mendirikan sekolah bulutangkis bertaraf nasional, bahkan internasional. Disana akan dicetak atlet-atlet bulutangkis handal dan berprestasi dalam kancah perbulutangkisan. mudah-mudahan suatu hari itu terwujud.