Bianglala Redup
A. R.
Bertiti hari di bianglala redup Seiring menampak senyuman dewi senja Mengalir amarah, rindu, dan asa Berasal kucuran luka menganga Pedih terbarut berbalur bisa nista Aduhai keluh dalam tawa komedi Menepis untaian rindu dendam Berkarat di sahara gersang nan hampa Karena antara dua hati, satu kilas mata Membumbung lalu terampas di cadas Dalam tidurnya bantalan duri Membekap sang dara sunyi jelita Biru dan bisu… Entah kemilau jadi Laksana bianglala menjelang awan pergantungan Sehabis balada putih Namun kini ia redup Dan entah untuk kian meredup Bilakan dicampak buat terenggut
Banjarbaru, 20 Pebruari 2003
Arti Dibalik Puisi:
Puisi berjudul “Bianglala Redup” ini adalah puisi pertama yang aku publikasi ke sebuah harian local Metro Banjar. Puisi yang bertema romansa tak pelak seolah menjadi ajang curahan hati yang sedang kasmaran. Bisa dibayangkan, awal pertama menjalani kuliah sebagai mahasiswa memerlukan adaptasi untuk menjadi serba mandiri. Saat seperti itu terdapat stressing yang harus bisa diselesaikan sendiri. Lingkungan baru memberikan pengalaman yang baru, tapi lingkungan asal tak mudah untuk dilupakan karena disana ada sesuatu yang berharga ditinggalkan yakni kehangatan keluarga, sahabat.
Memori cinta saat SMU juga tak pelak membuatku kusut, jarak yang memisahkan dengan pujaan hatiku Maida Ariani memberikan suatu warna hati. Kami sama-sama meninggalkan kota kelahiran di Kandangan untuk menuntut ilmu ke kota yang berbeda. Aku kuliah di Fakultas Kedokteran Banjarbaru, sedangkan dia studi di Sekolah Perawat Kesehatan di Barabai. Kandangan-Barabai berjarak 30-an kilometer, sedangkan Kandangan-Banjarbaru berjarak 130-an kilometer.
Hubungan cinta kami terlalu rumit untuk dijelaskan, aku dan dirinya senantiasa ada misunderstanding. Saat aku menjejakkan kaki di Banjarbaru masalah itu belum terselesaikan, dan menjadi berlarut-larut. Pertalian cinta menjadi renggang karena kurangnya komunikasi, tahun 2000- an yang namanya Warnet di Banjarbaru tak sefamiliar sekarang, apalagi di kota perifer seperti Barabai. Sangat jarang bertemu menggelorakan sejuta kerinduan (to be continued…). (azl)
A. R.
Bertiti hari di bianglala redup Seiring menampak senyuman dewi senja Mengalir amarah, rindu, dan asa Berasal kucuran luka menganga Pedih terbarut berbalur bisa nista Aduhai keluh dalam tawa komedi Menepis untaian rindu dendam Berkarat di sahara gersang nan hampa Karena antara dua hati, satu kilas mata Membumbung lalu terampas di cadas Dalam tidurnya bantalan duri Membekap sang dara sunyi jelita Biru dan bisu… Entah kemilau jadi Laksana bianglala menjelang awan pergantungan Sehabis balada putih Namun kini ia redup Dan entah untuk kian meredup Bilakan dicampak buat terenggut
Banjarbaru, 20 Pebruari 2003
Arti Dibalik Puisi:
Puisi berjudul “Bianglala Redup” ini adalah puisi pertama yang aku publikasi ke sebuah harian local Metro Banjar. Puisi yang bertema romansa tak pelak seolah menjadi ajang curahan hati yang sedang kasmaran. Bisa dibayangkan, awal pertama menjalani kuliah sebagai mahasiswa memerlukan adaptasi untuk menjadi serba mandiri. Saat seperti itu terdapat stressing yang harus bisa diselesaikan sendiri. Lingkungan baru memberikan pengalaman yang baru, tapi lingkungan asal tak mudah untuk dilupakan karena disana ada sesuatu yang berharga ditinggalkan yakni kehangatan keluarga, sahabat.
Memori cinta saat SMU juga tak pelak membuatku kusut, jarak yang memisahkan dengan pujaan hatiku Maida Ariani memberikan suatu warna hati. Kami sama-sama meninggalkan kota kelahiran di Kandangan untuk menuntut ilmu ke kota yang berbeda. Aku kuliah di Fakultas Kedokteran Banjarbaru, sedangkan dia studi di Sekolah Perawat Kesehatan di Barabai. Kandangan-Barabai berjarak 30-an kilometer, sedangkan Kandangan-Banjarbaru berjarak 130-an kilometer.
Hubungan cinta kami terlalu rumit untuk dijelaskan, aku dan dirinya senantiasa ada misunderstanding. Saat aku menjejakkan kaki di Banjarbaru masalah itu belum terselesaikan, dan menjadi berlarut-larut. Pertalian cinta menjadi renggang karena kurangnya komunikasi, tahun 2000- an yang namanya Warnet di Banjarbaru tak sefamiliar sekarang, apalagi di kota perifer seperti Barabai. Sangat jarang bertemu menggelorakan sejuta kerinduan (to be continued…). (azl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar